ARTICLE AD BOX

Ketahanan pangan seringkali disederhanakan hanya sebagai masalah produksi beras atau stok komoditas pokok. Padahal, setiap butir beras, jagung, atau sagu menyimpan cerita lebih dalam, tentang budaya, identitas, dan cara hidup masyarakat Indonesia. Pangan bukan sekadar soal mengisi perut, tetapi juga cerminan hubungan sosial, solidaritas, dan tradisi yang membentuk masyarakat dari generasi ke generasi.
Fenomena naiknya harga beras, fluktuasi ketersediaan jagung, atau menurunnya konsumsi pangan lokal bukan hanya persoalan ekonomi. Semua itu juga menandai perubahan pola budaya dan sosial yang perlahan mengikis warisan pangan masyarakat. Mengamati pangan dari sudut budaya membuka perspektif baru: menjaga ketahanan pangan bukan hanya soal produksi dan distribusi, tapi juga soal melestarikan, solidaritas, dan ingatan kolektif yang menjadi masyarakat Indonesia tangguh dan adaptif.
Pangan Lebih dari Sekadar Perut
Kita sering menganggap pangan hanya soal kalori, namun kenyataannya, makanan menyimpan banyak makna. Naiknya harga beras, akhir-akhir ini misalnya, mengingatkan kita bahwa ketergantungan pada satu komoditas membawa risiko besar. Dalam berbagai komunitas, pangan juga simbol solidaritas dan identitas.
Beberapa wilayah seperti di Minangkabau, beras bukan sekadar makanan pokok, tetapi bagian dari ritual makan bajamba, di mana seluruh anggota masyarakat duduk bersama membagi hasil panen. Sementara di Papua, sagu menjadi identitas masyarakat pesisir, terkait dengan musim panen, cara memasak, dan tradisi berbagi yang diwariskan secara turun temurun.
Tradisi lokal ini membentuk fondasi ketahanan pangan. Gotong royong panen,...