Bukan untuk Cari Ide, di 2025 AI Lebih Banyak untuk Curhat dan Cari Makna Hidup

1 jam yang lalu 3
ARTICLE AD BOX
Guru Besar Nanyang Technological University (NTU) Singapura, Ang Peng Hwa, dalam Information Resilience and Integrity Symposium (IRIS) di Universitas Gadjah Mada (UGM), Kamis (21/8). Foto: Pandangan Jogja/Resti DamayantiGuru Besar Nanyang Technological University (NTU) Singapura, Ang Peng Hwa, dalam Information Resilience and Integrity Symposium (IRIS) di Universitas Gadjah Mada (UGM), Kamis (21/8). Foto: Pandangan Jogja/Resti Damayanti

“Apa tujuan hidup saya? Saya tidak mencarinya di Alkitab, tidak mencarinya di Al-Qur’an, melainkan bertanya kepada AI,” ujar Guru Besar Nanyang Technological University (NTU) Singapura, Ang Peng Hwa, dalam Information Resilience and Integrity Symposium (IRIS) di Universitas Gadjah Mada (UGM), Kamis (21/8).

Pernyataan itu merujuk pada temuan riset terbaru yang menunjukkan pergeseran tren penggunaan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) pada 2025. AI kini lebih banyak dimanfaatkan untuk curhat, terapi emosional, hingga sarana mencari makna hidup, bukan lagi dominan dipakai untuk menghasilkan ide atau pencarian teknis.

Menurut Ang, tiga besar penggunaan AI pada 2025 adalah Therapy and Companionship (terapi dan teman curhat), Organize Life (mengatur hidup), dan Find Purpose (mencari tujuan hidup). Data tersebut berasal dari riset di Amerika Serikat yang diterbitkan di Harvard Business Review tahun 2025.

Tren ini berbeda dengan 2024, ketika tiga besar penggunaan AI masih lebih variatif, yakni Generate Idea, Therapy and Companionship, serta Specific Search.

Konferensi pers Information Resilience and Integrity Symposium (IRIS) di Universitas Gadjah Mada (UGM), Kamis (21/8). Foto: Pandangan Jogja/Rest...                    </div>

                    <div class= Baca Selengkapnya