Cahaya yang Kita Sembah, Bayangan yang Kita Pelihara

3 minggu yang lalu 10
ARTICLE AD BOX
Gambar dibuat oleh aiGambar dibuat oleh ai

Ada sesuatu yang berubah dalam cara kita memandang lelaki, meskipun saya tidak tahu kapan tepatnya perubahan itu mulai terasa. Dulu, tanda kebanggaan mereka terlihat pada bekas luka yang tidak malu dipamerkan, pada tangan kapalan yang menandai kerja panjang di bawah matahari. Sekarang, kebanggaan itu pindah ke wajah: kulit yang licin seperti keramik baru, mengkilap dalam sorot lampu ring light, seakan semua kesungguhan hidup bisa dibuktikan lewat pantulan cermin.

Saya tidak pernah keberatan pada orang yang ingin merawat diri. Bersih itu baik, wangi itu menyenangkan, dan rapi itu membuat dunia terasa lebih tertib. Tapi glowing? Itu sesuatu yang lain. Glowing bukan sekadar bersih; glowing adalah cara baru manusia mengukur harga diri lewat cahaya artifisial yang dipasang di depan wajahnya sendiri.

Suatu sore saya bertemu seorang teman. Wajahnya licin seperti papan iklan, tapi lehernya kusam, telinganya seakan dilarang masuk dalam ritual perawatan, dan kakinya tampak seperti halaman belakang rumah yang tak pernah dikunjungi. Saat itu saya merasa sedang menatap metafora: kita memang begitu, merawat yang terlihat, menelantarkan yang tersembunyi. Kita memoles kata-kata agar terdengar manis, tapi membiarkan niat tetap kotor. Kita mengejar cahaya di luar, berharap bisa menipu gelap di dalam.

Di titik itu saya sadar, glowing ini bukan sekadar obsesi kulit. Ia adalah cara kita bernegosiasi dengan kegelisahan. Kita percaya kalau permukaan tampak baik-baik saja, mungkin isi di dalam dada juga akan ikut membaik. Tapi bukankah bayangan justru lahir dari cahaya? Semakin terang kita dibuatnya, semakin jelas juga gelap yang kita bawa.

Mungkin itu sebabnya cahaya selalu memikat manusia: ia memberi ilusi bahwa kita ...

Baca Selengkapnya