Label Halal dan Martabat Warung Makan Kita

1 jam yang lalu 1
ARTICLE AD BOX
 ShutterstockIlustrasi logo Halal. Foto: Shutterstock

Di tengah hiruk pikuk kota, warung makan adalah denyut nadi kehidupan sehari-hari. Dari warung tegal di pinggir jalan, warung sunda di perempatan jalan menuju area perkantoran sampai rumah makan Padang di sudut gang, semuanya adalah wajah paling nyata dari ekonomi rakyat. Di situlah orang kantoran melepas penat dengan sepiring nasi rames, sopir ojek daring mengisi tenaga dan mahasiswa mencari makan murah sebelum kuliah. Maka ketika pemerintah meluncurkan program Sertifikasi Halal Gratis (SEHATI), gaungnya langsung menyentuh lapisan terdalam masyarakat.

Lebih dari Sekadar Stempel

Bagi sebagian orang, sertifikasi halal terdengar sebagai urusan birokrasi: berkas, cap, nomor dan stempel. Namun bagi jutaan pelaku usaha kecil, ia bukan sekadar kertas. Label halal adalah tanda pengakuan, simbol kepercayaan, bahkan modal sosial yang bisa mengangkat sebuah warung kecil ke level berikutnya. Hingga akhir 2023, satu juta UMKM sudah bergabung dalam program ini. Angkanya terlihat besar, tetapi jika dibandingkan target 10 juta sertifikasi pada 2025, jalan yang harus ditempuh masih panjang.

Masalahnya, banyak pemilik warung masih menganggap halal semata-mata soal “tidak menjual babi”. Anggapan itu terlalu sederhana, bahkan keliru. Halal bukan sekadar larangan, tetapi sebuah sistem yang menyangkut cara kita memperlakukan bahan, mengolah makanan dan menjaga kebersihan. Ia bukan hanya sebuah label, melainkan juga cerminan dari perilaku hidup sehari-hari.

Di sinilah muncul tantangan terbesar: bagaimana membawa kesadaran itu ke ruang-ruang dapur kecil, ke meja yang setiap hari dijejali piring pelanggan, ke tangan-tangan yang sibuk menyiapkan sambal, gorengan atau kuah gulai. Ketika bicara halal, kita sedang bicara tentang tanggung ...

Baca Selengkapnya