Pimpinan MPR soal MK Pisah Pemilu: Langgar Konstitusi, tapi Terserah DPR

1 jam yang lalu 1
ARTICLE AD BOX
 Helmi Afandi/kumparanPetugas KPPS menyiapkan surat suara pada pemungutan suara ulang di TPS 71, Cempaka Putih, Tangerang Selatan. Foto: Helmi Afandi/kumparan

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan ada pemisahan Pemilu nasional dan Pemilu lokal. Pemilu nasional meliputi Pilpres, Pileg DPR RI, dan Pileg DPD RI. Sementara Pemilu lokal yakni Pilgub, Pilbup, Pilwalkot dan Pileg DPRD.

Penyelenggaraan keduanya harus diberi jarak. Pemilu lokal dilaksanakan paling cepat 2 atau paling lama 2,5 tahun setelah presiden atau DPR atau DPD dilantik.

Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid (HNW), mengatakan putusan MK tak sesuai dengan konstitusi Indonesia. Sebab dalam konstitusi jelas diatur Pemilu dilaksanakan 5 tahun sekali.

"Keputusan MK itu agak pelik, karena di satu pihak, kalau tidak dilaksanakan, maka akan melanggar konstitusi karena keputusan MK itu bersifat final dan mengikat," kata HNW di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (18/8).

"Tapi kalau dilaksanakan, juga potensial melanggar konstitusi, karena ada mengundurkan pemilihan DPRD 2 tahun atau 2,5 tahun berikutnya," tambah dia.

 Irfan Adi Saputra/kumparanWakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan

Namun dengan putusan MK ini, Pileg DPRD baru bisa dilaksanakan paling cepat pada 2031 atau 7 tahun usai Pileg DPRD terakhir di tahun 2024.

Maka, agar putusan MK ini tak melanggar konstitusi, HNW mengusulkan agar Pemilu dibuat dalam tiga tahapan yakni Pemilu Legislatif (DPR, DPD, DPRD), Pilpres dan Pilkada.

Menurutnya, solusi ini sudah pernah dilakukan pada 2004, 2009 dan 2014. Di tiga Pemilu itu, Pileg dimulai beberapa bulan sebelum Pilpres.

Baca Selengkapnya