ARTICLE AD BOX

Pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati yang menyebut bahwa pajak sama mulianya dengan zakat dan wakaf menuai perhatian publik. Sebagian menganggap pernyataan itu menegaskan pentingnya pajak bagi pembangunan, namun sebagian lain menilai penyamaan tersebut berpotensi menimbulkan kerancuan, khususnya bagi umat beragama.
Menanggapi hal tersebut, Dosen Ekonomi Islam Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga, Dr Irham Zaki S Ag M EI, menekankan perlunya pemahaman bijak antara kewajiban agama dan kewajiban negara.
Menurutnya, zakat dan pajak memang sama-sama memiliki fungsi sosial, tetapi secara prinsip keduanya memiliki perbedaan mendasar.
“Kita harus sadar bahwa ada kewajiban yang datang dari perintah agama, ada pula kewajiban dari negara. Sebagai warga negara yang baik, dua-duanya harus dijalankan. Tetapi bukan berarti derajatnya sama,” tegas Irham dalam keterangannya seperti dikutip Basra, Senin (25/8).
Menurutnya, jika dikatakan sama-sama mulia dalam konteks pemberdayaan masyarakat, hal itu bisa dipahami. Namun jika disamakan secara umum, justru kurang bijak.
“Harus berhati-hati dalam menyampaikan pernyataan. Umat Islam meyakini ajaran agamanya pasti mendatangkan kemaslahatan. Jika zakat dikelola lebih terintegrasi dan diawasi negara, manfaatnya akan semakin besar bagi semua,” tandasnya.
Meski berbeda, Irham tidak menutup kemungkinan zakat menjadi bagian dari instrumen fiskal negara. Menurutnya, jika dikelola dengan regulasi yang baik, zakat dapat menjadi sumber penguatan keuangan publik sekaligus menekan ketimpangan sosial. Namun, ia juga menyoroti kelemahan kebijakan saat ini. Zakat baru dihitung sebagai pengurang pen...