Gen Z dan Kota: Mencari Jati Diri di Tengah Tekanan Gaya Hidup Urban

3 minggu yang lalu 7
ARTICLE AD BOX
//www.pexels.com/photo/women-in-cafe-240223/Photo by Tim Gouw from Pexels: https://www.pexels.com/photo/women-in-cafe-240223/
Gue capek jadi diri gue. Tapi gue juga gak tahu gue ini siapa.

Ungkapan seperti ini bukan hal asing di kalangan Gen Z yang hidup di kota-kota besar Indonesia.

Dalam dunia yang kian serba cepat, banyak anak muda yang merasa asing terhadap dirinya sendiri. Mereka bekerja, bersosialisasi, dan terus “berprogres”. Namun di balik semua itu, muncul pertanyaan eksistensial: Siapa aku sebenarnya? Apakah aku sedang menjalani hidupku sendiri, atau sekadar menunaikan ekspektasi sosial?

Dalam kerangka sosiologi modern, fenomena ini telah lama dikaji oleh Anthony Giddens (1991) melalui konsep reflexive self. Menurut Giddens, di era modernitas lanjut (late modernity), identitas bukan lagi sesuatu yang diwariskan atau bersifat tetap. Identitas menjadi sebuah proyek reflektif yang harus dibentuk dan dikurasi secara terus-menerus oleh individu.

“The self is seen as a reflexive project, for which the individual is responsible. We are, not what we are, but what we make of ourselves.” — Giddens, Modernity and Self-Identity (1991)

Artinya, setiap anak muda hari ini dipaksa untuk “menjadi seseorang” dalam dunia yang menawarkan terlalu banyak pilihan, tapi minim stabilitas.

Kota: Ruang Penuh Peluang, Tapi Juga Tekanan

Dalam studi sosiologi urban, kota seringkali dipandang sebagai arena mobilitas sosial, ekonomi, dan budaya. Namun, kota juga menghadirkan tuntutan harus kompetitif, harus tampil, harus punya “nilai jual” pribadi. Lingkungan perkotaan yang cair (liquid) menyebabkan identitas sosial individu turut menjadi cair, tidak menetap, mudah bergeser, dan rawan kehilangan makna.

Seiring dengan berkurangnya k...

Baca Selengkapnya