Jaminan Kehilangan Pekerjaan: Trampolin bagi Pekerja?

2 jam yang lalu 2
ARTICLE AD BOX
 shutterstockIlustrasi pemutusan hubungan kerja (PHK). Foto: shutterstock

Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) lahir sebagai salah satu terobosan dalam kebijakan ketenagakerjaan Indonesia. Bagi pekerja yang terkena PHK, JKP tidak hanya menjanjikan bantuan finansial sementara, tetapi juga pelatihan keterampilan dan layanan pasar kerja agar mereka bisa kembali masuk dunia kerja dengan lebih siap.

Secara teori, inilah bentuk nyata dari Active Labor Market Policy (ALMP)—sebuah pendekatan yang menggabungkan perlindungan sosial dengan strategi peningkatan daya saing tenaga kerja. Namun, seperti yang diungkapkan dalam disertasi Muhyidin di Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya (FIA UB), implementasi JKP di lapangan masih jauh dari kata sempurna.

Untuk menilai JKP, Muhyidin menggunakan model evaluasi Context, Input, Process, Product (CIPP). Model ini menilai kebijakan dari empat sisi: kondisi awal, sumber daya dan aturan, mekanisme pelaksanaan, serta hasil yang dicapai.

Ditilik dari Context, pasar kerja Indonesia masih rapuh. Tingginya pengangguran struktural, dominasi sektor informal, hingga kesenjangan pendidikan tenaga kerja membuat JKP menghadapi tantangan sejak awal. Program ini memang relevan, tetapi cakupannya masih terbatas—terutama bagi pekerja informal yang justru paling rentan.

Diteropong dari Input, Regulasi JKP dinilai belum kokoh, kapasitas institusi lemah, infrastruktur digital minim, dan prosedur administratif berbelit. Misalnya, syarat pengesahan pemutusan hubungan kerja (PHK) lewat Pengadilan Hubungan Industrial terbukti menyulitkan pekerja untuk segera mendapatkan manfaat.

Selanjutnya, diamati dari sisi process, implementasi program terfragmentasi. Koordinasi antara Kementerian Ketenagakerjaan, BPJS Ketenagakerjaan, dan pemerintah daerah...

Baca Selengkapnya