Rezeki Tak Pernah Salah Alamat

13 jam yang lalu 3
ARTICLE AD BOX
Gambar dibuat oleh aiGambar dibuat oleh ai

Saya pernah bekerja di sebuah tempat yang ramai. Penuh klakson, jadwal rapat, dan orang-orang yang bicara soal target. Setiap pagi, semua bergegas seolah hari itu adalah perlombaan terakhir. Tidak ada yang cukup: tidak waktu, tidak gaji, tidak kelegaan. Hingga suatu hari, saya berhenti. Bukan karena sudah kaya, tetapi karena tubuh dan pikiran saya mulai protes.

Aneh sekali—ketika saya berhenti mengejar, justru beberapa hal yang saya butuhkan datang sendiri. Bukan dari pekerjaan, tapi dari arah yang tak pernah saya perhitungkan.

Seorang tetangga datang membawa sekeranjang buah, katanya panen dari kebun belakang yang tak pernah saya tahu sebelumnya. Seorang teman lama menghubungi untuk menawarkan kerja ringan, cukup dari rumah. Semuanya datang seperti angin yang tahu kapan harus lewat. Dan entah kenapa, saya tidak kaget. Hanya terdiam, seperti sedang diingatkan sesuatu yang pernah saya tahu tapi lama saya abaikan: bahwa rezeki tidak pernah tersesat.

Sebagian orang mengira rezeki seperti burung langka yang harus diburu dengan jaring dan umpan mahal. Maka mereka sibuk merancang strategi, mengepak proposal, menandai peluang. Tidak ada yang salah. Tapi ketika semua itu dilakukan dengan ketegangan, dengan rasa takut kekurangan, dengan meninggalkan waktu-waktu sujud, rasanya ada yang bergeser dalam cara kita memandang hidup.

Rezeki, rupanya, bukan hadiah dari kerja keras semata. Ia juga buah dari ketenangan batin, dari kejujuran yang dirawat, dari tangan yang tidak rakus. Ia datang bukan karena kita paling pintar, tapi karena kita bersedia menerima, meski lewat jalan yang tidak kita minta.

Saya pernah bertanya pada seorang pedagang kecil yang lapaknya tak pernah sepi, padahal ia tak punya iklan dan harganya biasa saja. “Apa rahasianya?” Ia me...

Baca Selengkapnya