ARTICLE AD BOX

Kesepakatan antara Indonesia dan Amerika Serikat yang diumumkan pada Juli 2025 patut dicermati secara kritis. Salah satu poin sentral dari pernyataan bersama kedua negara adalah pengakuan bahwa Amerika Serikat merupakan yurisdiksi dengan perlindungan data pribadi yang memadai, sebagaimana disyaratkan dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). Dengan pengakuan ini, data pribadi warga Indonesia dapat dipindahkan dan diproses di AS tanpa hambatan hukum tambahan.
Pemerintah menyebut kesepakatan ini sebagai langkah maju dalam kerja sama ekonomi digital. Namun pertanyaan mendasar yang perlu diajukan adalah: apakah ini kemajuan yang berpihak pada kedaulatan digital Indonesia atau sekadar konsesi atas tekanan geopolitik dan kepentingan korporasi global?
Siapa Diuntungkan?
Dalam lanskap ekonomi digital global, Amerika Serikat menempati posisi dominan. Raksasa teknologi seperti Google, Amazon, Meta, dan Microsoft berbasis di negara tersebut, dan model bisnis mereka sangat bergantung pada arus bebas data lintas batas.
Namun, berbeda dengan Uni Eropa yang memiliki General Data Protection Regulation (GDPR) sebagai payung hukum tunggal dan ketat, Amerika Serikat justru belum memiliki regulasi federal yang setara dalam melindungi data pribadi. Perlindungan data di AS bersifat sektoral dan sangat bergantung pada mekanisme self-regulation oleh korporasi.
Dengan demikian, pengakuan Indonesia terhadap AS sebagai “yurisdiksi yang memadai” patut dipertanyakan. Pengakuan ini berarti bahwa data pribadi warga negara dapat ditransfer ke AS tanpa perlu mekanisme perlindungan tambahan seperti kontrak atau persetujuan eksplisit dari subjek data. Padahal, UU PDP justru mensyaratka...