ARTICLE AD BOX

Sudah bukan rahasia lagi bahwa data pribadi masyarakat Indonesia telah lama mengalami kebocoran. Kebocoran demi kebocoran ini, dari jutaan data pemilih hingga informasi kependudukan, tidak pernah benar-benar mendapatkan respons struktural yang tegas dari negara.
Pada konteks ekonomi, produk-produk Amerika Serikat juga telah lama menjadi bagian dari keseharian masyarakat Indonesia. Minuman bersoda merek global, jaringan restoran cepat saji yang menjadi ikon budaya populer, hingga makanan seperti sandwich dan roti sosis, semuanya menunjukkan betapa dominannya budaya konsumsi Barat. Bahkan dalam sektor teknologi, layanan digital dan telekomunikasi dari Silicon Valley telah membentuk pola perilaku dan preferensi warga lokal. Ini bukan sekadar invasi ekonomi, tapi ekspansi budaya yang halus dan berkelanjutan.
Namun, yang kini patut diwaspadai bukan sekadar dominasi produk-produk konsumsi atau penetrasi budaya asing. Tarif impor sebesar 19% yang diberlakukan oleh pemerintahan Trump terhadap produk dari luar Amerika Serikat, termasuk dari Indonesia, membawa implikasi lebih dalam dari sekadar perdagangan. Sebab di balik retorika proteksionisme tersebut, tersembunyi tekanan terhadap negara-negara berkembang agar tunduk pada struktur pasar global yang timpang.
Salah satu isu paling krusial dari kebijakan dagang ini adalah potensi keterpaksaan bagi Indonesia untuk membuka keran ekspor sumber daya mineral secara langsung tanpa melalui proses hilirisasi. Padahal, sejak masa Presiden Joko Widodo, Indonesia telah berkomitmen pada kebijakan hilirisasi untuk memastikan bahwa kekayaan alam tidak hanya diekspor dalam bentuk mentah, tapi juga diproses di dalam negeri untuk meningkatkan...