ARTICLE AD BOX

Hari ini, anak perempuan saya meminta sesuatu yang sederhana—menuliskan namanya dalam tulisan Arab. Ia bilang ustadzah di madrasahnya memintanya membawa tulisan itu ke sekolah sore nanti. Saya tidak bertanya panjang lebar. Mungkin agar ia bisa belajar mengenali dan menuliskan namanya sendiri dalam huruf-huruf hijaiyah. Entahlah. Tapi saya tahu, tidak ada yang keliru dari permintaan itu. Memang sudah sepantasnya setiap anak mengenal namanya, mengenali dari mana ia berasal, dan suatu hari memahami ke mana ia diarahkan.
Saya tuliskan namanya perlahan, huruf demi huruf, dalam aksara Arab. Lalu, seperti ada sesuatu yang mengalir begitu saja dari dalam dada, saya tuliskan juga arti dari namanya: "Orang yang berakhlak, cerdas, merdeka." Tiga kata yang bagi orang lain barangkali hanya deretan sifat umum, klise, bisa ditemukan di brosur sekolah-sekolah unggulan. Tapi bagi saya, kata-kata itu adalah tali yang saya untai pelan-pelan, doa yang saya rajut menjadi jaring—semoga suatu saat cukup kuat menopang hidup anak saya ketika saya sudah tidak lagi bisa memapahnya.
Saya ingin menjelaskan arti nama itu padanya. Tapi suara saya tertahan. Bukan karena saya ragu, melainkan karena saya sadar: usia tujuh tahun terlalu dini untuk mengurai makna dari sebuah doa yang dititipkan diam-diam. Mungkin, sepuluh atau lima belas tahun lagi, ia akan bisa membaca tulisan ini. Dan jika Tuhan mengizinkan, saya ingin ia tahu bahwa dari semua yang bisa saya wariskan, namanyalah yang paling saya persiapkan dengan cermat. Sebab nama adalah doa yang menyamar dalam bentuk kata-kata.
Saya tahu, sebagai seorang ayah, doa saya belum tentu mujarab. Hati saya terlalu sering bergemuruh oleh hal-hal duniawi, pikiran saya terlalu penuh oleh keinginan-keinginan yang tak selalu jernih. Maka s...